Allah ta’ala berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah kalian menggunjing satu dengan yang lain. Apakah salah seorang dari kalian senang apabila dia memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, maka tentunya kalian membencinya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurat : 12).
Ayat yang mulia ini memberikan pelajaran penting kepada kita, bahwa :
- Menggunjing atau ghibah merupakan dosa besar. Hal itu dikarenakan Allah menyerupakan perbuatan ghibah itu dengan memakan daging bangkai manusia sementara perbuatan itu termasuk dosa besar. Demikian papar Syaikh as-Sa’di rahimahullah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 802)
- Hadits ini menunjukkan bahwa apabila seseorang menyebutkan kejelekan saudaranya ketika dia tidak hadir maka itu adalah perbuatan ghibah. Sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kalian tahu apa yang dimaksud dengan ghibah?”. Maka mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau mengatakan, “Yaitu kamu menceritakan tentang saudaramu yang dia tidak senangi.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana kalau apa yang saya katakan itu benar ada pada diri saudaraku?”. Maka beliau menjawab, “Kalau padanya terdapat apa yang kau katakan maka sungguh kamu telah menggunjingnya. Dan apabila tidak ada seperti yang kamu katakan maka itu berarti kamu telah berdusta atas namanya.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Birr wa as-Shilah wa al-Aadab, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Sedangkan apabila dia menyebutkan kejelekan itu di depannya secara langsung maka itu berarti dia telah mencelanya. Namun, apabila ghibah itu dilakukan dalam rangka nasehat -misalnya menyebutkan kejelekan periwayat hadits- atau menerangkan keadaan orang ketika diperlukan -misal ketika dimintai pendapat sebelum menjalin pernikahan dengan seseorang- maka hal itu tidak mengapa (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [4/79]).
- Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa menjaga lisan agar tidak menggunjing merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Dan ayat ini juga menunjukkan bahwa orang yang tidak bisa menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang jelek – salah satunya adalah ghibah- menunjukkan bahwa ketakwaannya rendah (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [4/79]). Dan ketakwaan yang muncul secara lahir, dengan ucapan atau perbuatan itu pada hakikatnya merupakan cerminan apa yang ada di dalam hati. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itu, karena barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj : 32). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata-kata baik atau diam.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adab dan Muslim dalam Kitab al-Iman dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “..pokok keimanan itu tertanam di dalam hati yaitu ucapan dan perbuatan hati. Ia mencakup pengakuan yang disertai pembenaran dan rasa cinta dan ketundukan. Sedangkan apa yang ada di dalam hati pastilah akan tampak konsekuensinya dalam perbuatan anggota-anggota badan. Apabila dia tidak melakukan konsekuensinya maka itu menunjukkan bahwa iman itu tidak ada atau lemah. Oleh karena itu maka amal-amal lahir itu merupakan konsekuensi dari keimanan di dalam hati. Ia merupakan pembuktian atas apa yang ada di dalam hati, tanda dan saksi baginya. Ia merupakan cabang dari totalitas keimanan dan bagian dari kesatuannya. Walaupun demikian, apa yang ada di dalam hati itulah yang menjadi pokok/sumber bagi apa-apa yang muncul pada anggota-anggota badan…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah).
- Dan pelajaran lainnya yang belum saya ketahui. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.